Penyakit Hati: racun metafisik yang menggerogoti

  • 13 Mei 2025
  • 10:23 WITA
  • Admin_FKIK
  • Berita

Tahukah kita bahwa tubuh kita punya sistem otomatis yang sangat canggih? Namanya “fight or flight response”—respon melawan atau lari. Ini sistem bawaan sejak zaman Nabi Adam, fungsinya: buat menyelamatkan kita dari bahaya.

Misalnya zaman dulu, kalau ada harimau datang, tubuh langsung siaga:

“Cepat! Lari! Atau lawan!”

Jantung berdetak kencang, napas cepat, tangan dingin, otot tegang—itu semua persiapan tubuh , aktifitas saraf simpatis yangmuncul. 

Tapi...

masalahnya sekarang, harimaunya sudah tidak ada

Yang ada sekarang:

Atasan galak; istri / suami hobby ngomel; netizen nyinyir; teman pamer story liburan tiap hari ; debt collector yang sering bertamu; dll

Dan tubuh kita tetap panik seperti dikejar harimau!

Akhirnya, kita hidup dalam stres terus-terusan. Sistem tubuh tegang, susah tidur, lambung bermasalah, imun menurun.

Itulah kenapa Islam mengajarkan:

> “Tenangkan hati, jernihkan pikiran.”

Karena ternyata, penyakit itu bukan cuma dari luar, tapi juga dari dalam.

Kadang yang bikin kita gampang sakit bukan karena virus... tapi karena hati yang panas dan pikiran yang sempit.

Penyakit hati tidak hanya merusak hubungan antarmanusia, tetapi juga menghancurkan kedamaian batin seseorang. Dalam sistem metafisika Islam, hati (qalb) adalah pusat kesadaran spiritual—organ batin yang menghubungkan manusia dengan realitas Ilahiyah. Ketika hati dipenuhi energi negatif seperti iri dan benci, frekuensi ruhani seseorang terganggu. Ini berdampak langsung pada kesehatan fisik. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa stres emosional kronis dapat memicu insomnia, gangguan pencernaan, hipertensi, penyakit jantung, bahkan penyakit autoimun.

Dari sisi psikologi medis, emosi negatif memperpanjang aktivitas sistem saraf simpatis (respon fight or flight) yang pada akhirnya mengganggu sistem pencernaan, hormonal, dan imunitas. Maka tak heran jika seseorang yang hatinya dipenuhi kedengkian lebih mudah terserang penyakit fisik. Lebih dari itu, ia juga menderita secara rohani: gelisah, sulit tidur, mudah curiga, dan tak pernah merasa cukup. Betapa menyiksanya hidup semacam ini.

Dampaknya terhadap pola pikir pun tak kalah serius. Hati yang sakit menciptakan pikiran yang sempit. Ia membangun narasi di alam bawah sadar bahwa kebahagiaan orang lain adalah ancaman pribadi. Akibatnya, seseorang menjadi defensif, sinis, dan sulit berkembang. Hal ini pun memengaruhi rezeki. Dalam ajaran Islam, rezeki tidak hanya berupa uang, tapi juga ketenangan, cinta, dan peluang. Hati yang bersih memancarkan energi positif yang menarik keberkahan; sebaliknya, hati yang kotor justru mengusirnya.

Allah SWT berfirman:

> "Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."

(QS. Ash-Shu’ara: 88-89)

Dalam hukum kehidupan, apa yang ditabur, itulah yang akan dituai. Siapa yang menanam keikhlasan akan memanen ketenangan. Membersihkan hati bukan hanya kewajiban spiritual, tapi juga kebutuhan bagi kesehatan jiwa dan fisik.

Ada sebuah kisah penuh hikmah.

Suatu hari Rasulullah bersabda: “Akan datang kepada kalian seorang dari penghuni surga.”

Kemudian masuklah seorang lelaki Anshar, sederhana penampilannya, dengan janggut yang masih basah karena wudhu, dan sandal tergantung di tangan kirinya.

Peristiwa ini terulang tiga hari berturut-turut. Setiap kali Nabi mengatakan hal yang sama, lelaki itu yang datang.

Karena penasaran, Abdullah bin Amr bin Ash memutuskan untuk menginap di rumah lelaki tersebut selama tiga hari, untuk mencari tahu amalan istimewa apa yang ia lakukan.

Namun selama tiga hari itu, Abdullah tidak melihat adanya ibadah luar biasa: tidak bangun malam panjang, tidak banyak puasa, dan amalnya tampak biasa saja.

Akhirnya Abdullah bertanya,

“Wahai saudaraku, Rasulullah menyebutmu sebagai penghuni surga tiga kali. Tapi aku tidak melihat ada amalan yang berbeda dari kami. Apa rahasiamu?”

Lelaki itu tersenyum dan berkata:

“Amalku tidak lebih dari apa yang kau lihat. Hanya saja... setiap malam sebelum tidur, aku menghapus rasa iri, benci, dan dendam dari hatiku terhadap siapa pun di antara kaum Muslimin. Aku tidak pernah tidur dengan membawa kebencian kepada siapa pun.”

Mendengar itu, Abdullah pun berkata,

 “Inilah yang membuatmu sampai pada derajat itu, dan ini yang kami tidak sanggup melakukannya.”

Simpel, kan? Tidak perlu tahajud semalam suntuk atau puasa Daud. Cukup belajar memaafkan, melepaskan, dan jangan terlalu hobi mencari2 "celah" di hidup orang  lain