"Dukun Sakti"

  • 07:25 WITA
  • Admin_FKIK
  • Artikel

"Dukun Sakti"

Dewi Setiawati

Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan

Klinik Wirahusada Medical Centre

Dosen FKIK UIN Alauddin Makassar


Malam itu, ruang praktik penuh sesak. Suara batuk, keluhan, dan derap langkah memenuhi udara. Di tengah keramaian, seorang pria masuk sambil menggendong istrinya. Ini bukan adegan romantis seperti di film , tapi karena sang istri tak bisa berjalan alias lumpuh.


Ia segera dibaringkan di tempat tidur periksa. Tak mampu duduk.


Baiklah, kita kenalan dulu.

Namanya Bu Rani, ibu satu anak. Usianya 29 tahun. Suaminya yang setia menemani, mulai bercerita:

“Sudah sebulan, Dok, istri saya tidak bisa jalan. Awalnya cuma sakit perut. Kami berobat ke mantri di kampung, katanya ‘kandungannya turun’. Sejak saat itu, dia tidak bisa jalan lagi.”


Saya mengangguk pelan. Lalu mulai memeriksa — dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pemeriksaan fisik, pemeriksaan dalam, lalu USG. Hasilnya? Semua normal.

Tidak ada tanda-tanda kegawatan. Tidak ada penyakit organik. Kandungannya sehat. Tidak ada yang “turun”.

Tidak ada prolaps uteri. Prolaps uteri adalah istilah medis, nama lain dari turun kandungan.


Semua normal, tapi mengapa ia tak bisa berjalan?

Kutatap matanya.

Dari matanya… saya tahu.

Wajah itu bukan sekadar wajah orang sakit. Itu wajah yang dicekam kecemasan luar biasa. Ini bukan masalah tubuh. Ini masalah pikiran.


Psikosomatik, dugaanku.


Apa itu Psikosomatik?

Psikosomatik berasal dari dua kata: psyche (jiwa) dan soma (tubuh). Ini adalah kondisi ketika masalah psikologis — seperti stres, ketakutan, kecemasan — mempengaruhi kondisi fisik seseorang.


Tubuhnya sehat, tapi pikirannya sedang sakit. Dan yang menarik: gejalanya bisa sangat nyata. Bukan pura-pura. Bukan dibuat-buat.


Seperti pada Bu Rani: nyeri perut, lemas, bahkan tak bisa berjalan, semua itu bisa muncul karena ketegangan jiwa yang mendalam. Mungkin ia menyimpan trauma. Ketakutan. Atau tekanan yang tak bisa ia ungkapkan. Tapi tubuhnya yang “bicara”.


Saya tersenyum.

“Baik, Bu Rani, sekarang boleh turun dari tempat tidur periksa, ya.”


Bu Rani menoleh ragu ke suaminya. Sang suami refleks berdiri, siap membopong istrinya lagi.


“Tunggu dulu, Pak,” kataku sambil tersenyum. “Bapak duduk saja. Ibu bisa turun sendiri, kok.”

Mereka berdua tampak terkejut.

"Ayo, Bu Rani. Ibu bisa. Ibu sehat. Ibu tidak lumpuh. Kandungan ibu normal dan baik-baik saja." 



Saat itu, entah kenapa, saya merasa seperti penjual obat di pasar malam😁 Tapi saya tahu,  kalimat2ku sedang membangunkan keyakinannya. Saya seolah memberikan sugesti kepadanya. Bahwa ia tidak lumpuh.


Pelan-pelan, Bu Rani mencoba bangun. Ia terduduk. Lalu menurunkan kakinya. Tangannya meraba tepian tempat tidur, mencari tumpuan. Suaminya tegang, nyaris tak berkedip.

“Satu langkah, Bu. Ayo. Bagus. Sedikit lagi…”


Bu Rani berdiri.

Ragu. Lalu melangkah. Satu… dua… tiga langkah… Menuju suaminya.

“MasyaAllah…” gumam saya dalam hati.

Ia mulai percaya diri. Tubuhnya tegap. Kakinya mantap.

Ia berhasil!


Senyum saya mengembang. Tapi saya yakin — senyum mereka jauh lebih lebar. Bahagia tak terkira.

 Bu Rani spontan mencium tangan saya.

“Terima kasih, Dokter…” katanya lirih


Ia keluar dari ruangan saya. Berjalan. Tanpa dipapah. Tanpa dibopong.


Pasien2 lain yang menunggu di luar terheran-heran.

“Loh, itu tadi yang digendong? Kok bisa jalan dan langsung sembuh?”

Ada lagi yang nyelutuk, "wah disini bisa mengobati orang lumpuh juga ya..."


Saya hanya senyum-senyum sendiri 

Inilah kisah lain di ruangan kami....

Malam itu, saya bukan dokter.

Saya “dukun sakti”.


Hehehe…😁😁😁