APAKAH UMUR BISA DITEBAK? Sebuah Perjalanan Menelusuri Misteri Harapan Hidup

  • 03:49 WITA
  • Admin_FKIK
  • Artikel

APAKAH UMUR BISA DITEBAK?

Sebuah Perjalanan Menelusuri Misteri Harapan Hidup


Oleh: Dr. dr. Dewi Setiawati, Sp.OG., M.kes

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar


---

Suatu sore di ruang praktik saya, seorang pasien,  Bu Sari, seorang Dosen berusia 45 tahun—duduk dengan wajah penuh kegelisahan. Setelah selesai konsultasi medis, dia mengeluarkan pertanyaan yang membuat saya terdiam sejenak.


"Dok, kira-kira umur saya masih berapa lama?"


Pertanyaan itu bukan yang pertama kali saya dengar. Dari pasien, teman sejawat, bahkan keluarga sendiri, pertanyaan serupa kerap terlontar. Seolah-olah saya adalah peramal yang bisa melihat masa depan seseorang. Namun sebagai dokter dan peneliti, saya tahu bahwa di balik pertanyaan sederhana itu tersimpan kompleksitas ilmu yang luar biasa.


"Bu Sari," jawab saya sambil tersenyum, "mari kita jelajahi bersama apa yang sains katakan tentang hal ini."


Bayangkan hidup sebagai sebuah perjalanan panjang. Setiap orang memiliki peta yang berbeda, dengan rute yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam dunia medis, kita menyebutnya "harapan hidup" atau *life expectancy*, sebuah kompas statistik yang menunjukkan rata-rata usia yang mungkin dicapai seseorang.


"Seperti GPS, Dok?" tanya Bu Sari dengan antusias.


"Persis!" saya menjawab. "Tapi GPS ini tidak hanya melihat jalan, melainkan juga cuaca, kondisi kendaraan, dan gaya mengemudi kita."


Data Badan Pusat Statistik Indonesia 2024 menunjukkan bahwa perempuan Indonesia memiliki harapan hidup 75-77 tahun, sementara laki-laki 71-73 tahun. Namun angka ini bukan takdir yang terpaku. Seperti perjalanan sesungguhnya, ada banyak faktor yang bisa mengubah rute kita.


Sebagai umat Islam, kita meyakini bahwa ajal adalah *qadarullah*—kehendak Allah yang telah ditentukan. Namun mempelajari harapan hidup bukanlah upaya mendahului takdir, melainkan ikhtiar untuk menjaga amanah tubuh yang dipercayakan kepada kita.


________


"Dok, apakah pekerjaan saya sebagai dosen mempengaruhi umur saya?" Bu Sari bertanya dengan mata berbinar.


Pertanyaan itu membuka diskusi yang menarik. Ternyata, profesi kita tidak hanya menentukan penghasilan, tetapi juga pola hidup yang pada akhirnya mempengaruhi harapan hidup. Mari kita ikuti kisah enam kelompok profesi yang berbeda.


Kisah Para Pendidik (guru dan dosen) : Rahasia Umur Panjang

Bu Sari mewakili kelompok profesi dengan harapan hidup tertinggi—78 hingga 82 tahun. Saya menceritakan hasil penelitian dari Belanda dan Spanyol yang menunjukkan bahwa guru dan dosen memiliki harapan hidup 3-5 tahun lebih panjang dari profesi lain.


"Mengapa bisa begitu, Dok?"


Saya menjelaskan dengan analogi sederhana: "Bayangkan otak sebagai mesin yang harus terus digunakan agar tidak karatan. Sebagai dosen,  Bu Sari setiap hari mengasah otak dengan mengajar, berinteraksi dengan mahasiswa, dan terus belajar hal baru. Ini seperti olahraga untuk otak yang mencegah kepikunan."


Selain itu, profesi guru dan dosen memberikan stabilitas emosional dan ekonomi, akses informasi kesehatan yang baik, plus bonus interaksi sosial yang tinggi dengan siswa dan masyarakat.


Drama Profesi Dokter: Paradoks Pengetahuan

Kemudian saya bercerita tentang profesi saya sendiri—dokter. "Ironis, ya Bu. Kami yang paling tahu tentang kesehatan, ternyata memiliki harapan hidup yang tidak seoptimal guru—sekitar 75-80 tahun."


Bu Sari tampak heran. "Kenapa bisa begitu, Dok?"


Saya menggambarkan kehidupan teman sejawat saya, Dr. Andi. Pagi hari ia bertugas di rumah sakit A, sore ke rumah sakit B, malam ke rumah sakit C, dan baru pulang dini hari. Pola hidup seperti ini—shift panjang, tanggung jawab besar, pola makan dan tidur yang berantakan—menjadi bumerang bagi kesehatan dokter sendiri.


"Seperti mobil yang dipaksa jalan terus tanpa istirahat," kata Bu Sari dengan pemahaman.


"Tepat sekali!"


Kisah Para Malaikat Tanpa Sayap (perawat dan bidan)

Saya melanjutkan dengan cerita tentang perawat dan bidan—profesi yang saya sebut "malaikat tanpa sayap." Harapan hidup mereka sekitar 74-78 tahun, sedikit di bawah dokter.


"Kenapa lebih rendah, Dok?"


"Bayangkan Siti, seorang perawat di ICU. Ia bekerja shift malam, menghadapi pasien kritis, mengangkat pasien yang berat, dan rentan tertular penyakit. Tapi di sisi lain, ia memiliki pengetahuan kesehatan yang baik dan rasa empati tinggi yang memberikan kepuasan batin."


Profesi ini penuh paradoks—secara fisik menantang, tapi secara spiritual memberikan makna hidup yang mendalam.


Sang Ahli Obat (apoteker): Hidup Teratur, Risiko Minimal

"Bagaimana dengan apoteker, Dok?"


Saya menceritakan tentang Pak Budi, seorang apoteker yang memiliki harapan hidup cukup tinggi—76-80 tahun. "Pak Budi bekerja di lingkungan yang bersih dan terkontrol, jadwal relatif teratur, dan memiliki pengetahuan mendalam tentang obat-obatan. Tapi risikonya adalah gaya hidup yang terlalu banyak duduk dan tekanan target penjualan jika bekerja di apotek retail."


Penjaga Keamanan : Risiko Tinggi, Umur pendek

Cerita kemudian beralih ke profesi yang lebih berisiko. "Pak Hasan, seorang polisi yang saya kenal, mewakili profesi dengan harapan hidup terendah—68-72 tahun."


Bu Sari tampak terkejut. "Padahal mereka terlihat sehat dan kuat, Dok."


"Itu yang menipu, Bu. Memang fisik mereka prima, tapi mereka menghadapi risiko kecelakaan, kekerasan, shift malam yang tidak teratur, dan tekanan psikologis yang berat. Bayangkan stress seorang polisi yang harus menghadapi konflik setiap hari."


Kehidupan Aman Pegawai Negeri

Terakhir, saya menceritakan tentang profesi PNS dan PPPK dengan harapan hidup 72-76 tahun. "Profesi ini relatif aman dan stabil, tapi ancaman utamanya adalah gaya hidup yang pasif."


"Maksudnya gimana, Dok?"


"Bayangkan Pak Dani, seorang PNS yang sehari-hari duduk di kantor dari jam 8 pagi sampai 4 sore, makan tidak teratur, jarang olahraga. Lama-lama tubuhnya seperti mesin yang tidak pernah dipanaskan—mudah rusak karena diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung."

-----------------'

Pelajaran dari Perjalanan


Setelah mendengar semua cerita, Bu Sari terdiam sejenak. "Jadi, Dok, apakah umur benar-benar bisa ditebak?"


Saya tersenyum. "Umur tidak bisa ditebak dengan pasti, Bu Sari. Yang bisa kita lakukan adalah memahami peta perjalanan kita dan mengambil rute yang paling sehat."


Saya menjelaskan bahwa data-data tadi bukanlah ramalan, melainkan pelajaran. Seperti seorang navigator yang mempelajari cuaca dan kondisi jalan, kita bisa menggunakan informasi itu untuk membuat keputusan yang lebih baik.


"Lantas, apa yang harus saya lakukan, Dok?"


"Syukuri profesi Anda sebagai dosen—itu adalah anugerah dengan bonus umur panjang. Tapi jangan lengah. Tetap jaga pola makan, olahraga teratur, kelola stress, dan perbanyak ibadah. Ingat, semua ini adalah ikhtiar, sementara takdir tetap di tangan Allah."


Epilog: Renungan di Penghujung Sore


Bu Sari keluar dari ruang praktik dengan wajah lebih cerah. Sebelum pergi, ia berkata, "Dok, sekarang saya tidak takut lagi dengan pertanyaan tentang umur. Yang penting adalah bagaimana saya mengisi hari-hari yang sudah Allah berikan."


Ucapan Bu Sari mengingatkan saya pada firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 195: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..."


Ilmu pengetahuan memberikan kita peta, namun Allah yang menentukan destinasi. Tugas kita adalah menjaga amanah tubuh, pikiran, dan jiwa dengan sebaik-baiknya, karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban kelak.


---


**Catatan Penutup:**  

*Setelah membaca kisah ini, mungkin Anda mulai menghitung-hitung harapan hidup berdasarkan profesi Anda. Tapi ingatlah, yang terpenting bukan berapa lama kita hidup, melainkan seberapa bermakna hidup yang kita jalani. Karena pada akhirnya, kualitas hidup jauh lebih berharga daripada kuantitas usia.* 😊


*Mari kita jaga tubuh, pikiran, dan jiwa kita—bukan karena takut mati, tapi karena ingin hidup dengan maksimal untuk beribadah dan berbuat kebaikan.*