Dopamin dan Gawai
Dewi Setiawati
Dokter Spesialis OBGIN Klinik Wirahusada Medical Centre
Dosen FKIK UIN Alauddin Makassar
---
Suatu sore, pintu ruang praktik saya terbuka. Masuklah sepasang suami istri, sebuah pemandangan yang seharusnya menghangatkan hati.
Sang istri melangkah masuk dengan senyum mengembang. Tangannya menempel lembut di perut yang membuncit , sepertinya sedang hamil delapan bulan. Ada cahaya bahagia yang terpancar dari matanya, cahaya yang biasanya hadir ketika seseorang sedang menanti keajaiban kehidupan.
Namun sang suami? Ia menyusul di belakang dengan kepala menunduk. Bukan karena malu atau lelah, melainkan karena matanya terpaku pada layar kecil di genggamannya. Gawai. Smartphone.
Ia berjalan sambil tetap menatap layar itu. Bahkan ketika duduk, tak sekalipun ia mengangkat pandangan. Istrinya duduk di sampingnya, menoleh sesekali, berharap mendapat kontak mata. Namun suaminya tetap tenggelam—terperangkap dalam dunia digital yang tak kasat mata.
Saya mengamati mereka dalam diam, menarik napas panjang.
Adiksi.
Apa Kesamaan bermain HP, Jatuh Cinta, dan Narkoba?
Jawabannya sederhana : dopamin!
Dopamin adalah neurotransmitter di otak yang membuat kita merasa senang, puas, dan ingin mengulang pengalaman tersebut. Ia adalah "hormon hadiah" yang dilepaskan setiap kali kita merasa bahagia , entah karena mendapat pesan manis, melihat notifikasi baru, merasa dicintai, makan cokelat, atau sekadar scrolling tanpa akhir di media sosial.
Masalahnya? Otak kita tidak mampu membedakan antara aktivitas yang menyehatkan dan yang merusak. Yang ia tahu hanyalah: "Ini enak, lakukan lagi."
Seperti tikus laboratorium yang terus menekan tombol demi setetes larutan gula, manusia modern menekan layar demi setetes dopamin. Lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Penelitian terkini mengungkap fakta yang mengkhawatirkan. Aktivitas seperti bermain ponsel, scrolling TikTok, atau menunggu notifikasi dapat memicu sistem reward otak dengan cara yang persis sama seperti kecanduan zat berbahaya—nikotin, alkohol, bahkan narkoba.
Yang lebih menarik lagi, sinyal yang tidak pasti, seperti notifikasi yang bisa muncul kapan saja, justru membuat otak kita semakin tertarik. Fenomena ini dikenal sebagai compulsion loop: sebuah siklus dorongan yang hampir mustahil untuk dihentikan.
Sebuah studi dari Tianjin Normal University di Tiongkok mengungkap temuan yang mencengangkan: menonton video pendek dalam durasi panjang dapat mengubah struktur otak, membuat kita lebih impulsif, sulit berkonsentrasi, dan cepat merasa bosan dengan realitas.
Di kalangan mahasiswa Indonesia, hampir separuhnya tergolong kecanduan smartphone. Dampaknya? Kualitas tidur menurun, konsentrasi terganggu, hingga masalah kesehatan mental yang serius.
Ketika Hadir Tanpa Benar-benar Ada
Saya kembali memandang pasangan di hadapan saya. Sang istri sesekali mencoba tersenyum kepada suaminya—senyum penuh harap yang seolah mengatakan: "Lihat aku... Aku sedang membawa anak kita... Ini seharusnya momen kita berdua."
Namun senyumnya seakan ditelan oleh cahaya layar yang tak pernah padam.
Mereka hadir bersama, tetapi tidak benar-benar bersama. Suami itu secara fisik duduk di samping istrinya, namun jiwanya tertawan dalam dunia digital yang tak berujung.
Barangkali sang istri ingin berteriak: "Ini waktu kita untuk bertemu bayi kita, bukan waktu untuk notifikasimu!"
Tapi kata-kata itu tertelan oleh getaran dan sorotan layar yang terlalu menyilaukan.
Bayangkan sejenak jika sang suami itu tiba-tiba meletakkan ponselnya. Ia menatap mata istrinya, tersenyum tulus, dan berkata dengan lembut: "Terima kasih sudah berjuang sejauh ini. Maafkan aku."
Mungkin pada saat itulah dopamin berubah menjadi oksitosin, hormon cinta dan kelekatan sejati. Saat itulah hubungan kembali terikat bukan melalui kabel data atau WiFi, melainkan dari hati ke hati, dari jiwa ke jiwa.
Karena kebahagiaan sejati tidak akan pernah ditemukan di ujung jari yang terus scrolling. Ia ditemukan dalam tatapan mata yang tulus, genggaman tangan yang hangat, dan percakapan tanpa distraksi.
Dalam era di mana setiap detik kita dibombardir oleh stimulus digital, mungkin tindakan paling revolusioner yang bisa kita lakukan adalah yang paling sederhana: meletakkan ponsel dan benar-benar hadir bagi orang yang kita cintai.
Karena tidak ada notifikasi di dunia ini yang lebih berharga daripada senyum orang yang kita sayangi.
Teknologi seharusnya menghubungkan kita dengan dunia, bukan memisahkan kita dari orang yg kita cintai....