Kehamilan di Ujung Usia

  • 12:36 WITA
  • Admin_FKIK
  • Artikel

"Kehamilan di Ujung Usia"

Oleh: Dewi Setiawati

Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar


Suatu sore di ruang praktik, saya kedatangan pasangan suami istri yang cukup senior... berbeda dari biasanya. Sang bapak berambut putih rapi, tampak tenang. Sang ibu, sepertinya usia 40-an. Saya agak heran—tumben ada pasien seusia ibu ini yang datang ke poli kandungan .... 


"Selamat sore, Bapak, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?" sapa saya  ramah seperti biasanya... 


Sang ibu tersenyum kaku dan sedikit takut. “Dok, saya sudah telat haid empat bulan. Saya mungkin sudah menopause yaa....  Jadi mau periksa aja, siapa tahu butuh suntikan hormon.”


Saya pun melakukan USG. Dan... saya sampai mengerjap dua kali. Di layar terlihat jelas: janin!. Saya pun menoleh ke arah ibu itu.


“Ibu... selamat ya. Ibu sedang hamil.”


Hening sejenak.


Sang ibu kaget, mulutnya menganga. Sementara sang suami justru tersenyum bahagia, bahkan mengangkat tangan seperti sujud syukur.


“Alhamdulillah, dok! Doa saya terkabul. Semoga cewek ya, dok. Anak kami bertiga sebelumnya laki semua.”


Saya ikut tersenyum. Tapi di balik itu, saya tahu betul bahwa kehamilan di atas usia 40 tahun itu penuh tantangan. Saya sampaikan dengan lembut  bahwa ibu perlu kontrol rutin karena usia segini masuk kategori kehamilan risiko tinggi.


Risikonya apa saja?

Saya jelaskan pelan-pelan: tekanan darah bisa naik, bisa kena gula selama hamil, bisa lahir prematur, bahkan ada risiko janin mengalami kelainan kromosom—salah satunya yang sering terjadi adalah Down syndrome.

Waktu berlalu.

Sebulan kemudian mereka datang lagi untuk kontrol. Pemeriksaan USG lanjut menunjukkan tanda yang saya khawatirkan sejak awal. Saya tarik napas sebelum bicara.


"Ibu, dari hasil pemeriksaan ini, kemungkinan besar janinnya mengalami Down syndrome."


Ibu itu terdiam bingung. Cemas. Sang suami memegang tangannya erat. Lalu berkata, “Nda pa-apa, Bu. Anak itu titipan Allah. Mau seperti apa, tetap kita terima.”


Saya menelan haru. Dan saya jelaskan dengan bahasa yang sederhana.


“Down syndrome itu semacam kelebihan kromosom. Kalau orang biasa punya sepasang kromosom 21, anak Down syndrome punya tiga. Jadi tumbuh kembangnya beda. Tapi bukan berarti dia nda bisa bahagia.”


Saya menjelaskan ciri-ciri fisiknya:

Biasanya anak-anak Down syndrome punya wajah khas—matanya agak sipit dengan jarak agak lebar, hidungnya kecil, lidahnya suka keluar, dan telinganya lebih kecil dari biasanya. Tangannya mungil, dan garis telapak tangannya cuma satu. Badannya mungkin agak lemas, dan belajarnya butuh waktu lebih lama.


Tapi saya tambahkan, “Kalau sejak kecil dibimbing, banyak kok anak-anak Down syndrome yang bisa sekolah, bahkan kerja dan hidup mandiri.

Bahkan cukup banyak yang berprestasi, asalkan kita memberikan motivasi dan stimulus yang tepat"


Waktu berlalu, hingga hari persalinan tiba. Ibu itu menahan nyeri luar biasa, tapi tetap tegar. Lalu lahirlah seorang bayi perempuan mungil, beratnya 2800 gram.


Wajahnya manis, dengan ciri khas Down syndrome yang saya sebutkan sebelumnya. Tapi tatapan matanya... teduh, damai. Seolah membawa pesan dari langit.


“Selamat ya, Bu. Perempuan, sesuai doa,” kata saya sambil meletakkannya di dada sang ibu.


Air mata pun jatuh. Tapi bukan tangisan sedih. Tangisan ikhlas. Mereka menerima, tanpa tanya kenapa.


“Kalau Allah sudah kasih, pasti Allah yang jaga,” kata ibunya lirih.


Saya belajar banyak dari mereka. Tentang sabar. Tentang menerima takdir. Tentang ikhlas, bukan sekadar pasrah, tapi tetap berjuang memberi yang terbaik.


---Surah Az-Zumar ayat 10

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas."