Validasi Zaman Now
Dewi Setiawati
Dosen FKIK UIN Alauddin Makassar
Suatu ketika, anak remaja saya berkata,
“Ma... saya harus berprestasi agar saya mendapat validasi.”
Validasi.
Waktu itu, saya hanya mengangguk-angguk, pura-pura paham. Tapi jujur, kata "validasi" masih terasa asing pada emak-emak sepertiku. Eh, sekarang istilah ini makin viral, yah... . Kayaknya kita para orang tua memang harus banyak gaul sama Gen Z. Biar awet muda juga, hehe 😄
Apa itu Validasi?
Menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia, validasi adalah pengesahan atau pengujian kebenaran atas sesuatu.
Secara harfiah, validasi berarti pengakuan.
Tapi buat anak-anak zaman sekarang, validasi adalah: Perasaan dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungan entah itu guru, teman, saudara, apalagi orang tua.
Sebenarnya, validasi itu adalah kebutuhan yang sangat manusiawi.
Siapa sih yang tidak mau merasa dihargai?
Namun, di era digital ini, kebutuhan itu bisa jadi bumerang. Banyak yang rela pasang filter berlapis, beli skincare over-budget, atau bahkan operasi plastik hanya demi satu komentar:
“Kamu cantik banget!”
Sedihnya, kadang bukan karena ingin cantik... tapi ingin dianggap cantik.
Kalau dulu anak-anak berlomba juara kelas biar dapat piala, sekarang berlomba-lomba posting biar dapat likes dan views.
Dulu pengakuan datang dari guru atau kepsek di sekolah, sekarang dari notifikasi Instagram.
Apakah salah? Ndak juga.
Tapi ketika hidup hanya berputar di sekitar pengakuan orang lain... hati-hati, kita bisa kehilangan jati diri. Bisa jadi amalan2 kita hangus atau tidak dianggap karena ternyata berselimut riya'.
Masalahnya bukan pada validasinya. Tapi ketika kita menjadikan validasi sebagai tolok ukur harga diri.
Kalau dipuji, semangat.
Kalau dikritik, hancur.
Kalau tak ada yang melihat, langsung merasa tidak berarti.
Padahal, Nak... kamu berharga bukan karena dilihat orang, tapi karena kamu ciptaan Allah yang istimewa.
Kadang saya merenung…
Kenapa sih kita bisa sebegitu haus akan validasi manusia?
Mungkin karena kita lupa, bahwa validasi sejati sudah datang dari tempat yang lebih tinggi.
Allah sudah lebih dulu mengakui kita.
Dia menciptakanmu bukan asal jadi, tapi dengan cinta dan tujuan.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(QS At-Tin: 4)
Ayat ini bukan sekadar pujian. Ini pengakuan surgawi.
Artinya: kamu tak perlu menjadi orang lain untuk layak dicintai.
Langit pun sudah mengakui keberadaanmu bahkan sebelum kamu memiliki followers.
Jadi, jangan biarkan komentar netizen menggoyahkan siapa dirimu.
Jangan jadikan like sebagai bahan bakar harga diri.
Karena pujian manusia itu fana. Tapi penilaian Allah kekal adanya.
Dan sebagai orang tua, saya pun belajar.....
Ternyata, anak-anak zaman sekarang tidak hanya butuh bimbingan, tapi juga pengakuan.
Bukan hanya disuruh belajar, tapi juga dihargai usahanya.
Bukan cuma diminta jadi “anak baik”, tapi juga ditemani ketika hatinya lelah.
Kadang validasi itu tak perlu mahal.
Cukup dengan berkata:
“Aku bangga sama kamu.”
“Tak apa-apa gagal sejenak, yang penting kamu terus berjuang.”
“Atau, mau Mama temani belajar sambil diskusi di kafe?”
Hal-hal kecil seperti itu... bisa jadi bahan bakar besar untuk kepercayaan diri anak.
Validasi itu seperti garam dalam masakan.
Secukupnya bikin enak.
Tapi kalau kebanyakan? Bisa bikin hipertensi jiwa 😅
Ajarkan anak untuk tetap berusaha melakukan hal terbaik, tapi jangan menggantungkan kebahagiaannya pada komentar orang.
Ajarkan dia bahwa hidup ini bukan panggung sandiwara, tapi perjalanan menuju ridha-Nya.
Dan, validasi terpenting adalah validasi dari Allah, Ridho Allah swt. Bukan dari validasi manusia.
"Tak perlu selalu menjadi indah di mata manusia, cukuplah Allah melihatmu berusaha taat. Karena pada akhirnya, hanya penilaian-Nya yang benar-benar berarti."
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. Al-Hujurat: 13)