SPIRITUAL WORKER
Dewi Setiawati
Dosen FKIK UIN Alauddin Makassar
Di balik setiap baju Korpri, jas putih, seragam pelayanan, atau bahkan pakaian kerja yang tampak sederhana—tersimpan satu pertanyaan mendasar yang seharusnya kita renungkan setiap hari:
"Untuk siapa aku bekerja?"
Jika jawabannya hanya untuk gaji, jabatan, pujian, atau status sosial, maka lelah akan cepat terasa. Semangat mudah luntur. Hati menjadi sempit. Dan pada akhirnya, amal itu tak bernilai di sisi Allah. Sia-sia…
Namun, jika jawabannya adalah: "Aku bekerja karena Allah. Untuk memberi manfaat. Karena Dia yang memampukanku. Dan aku ingin meraih ridha-Nya."
Maka sekalipun tak ada yang berterima kasih, tak ada yang melihat, bahkan ketika disalahpahami—hati tetap tenang. Karena kita yakin, Allah tak pernah lalai terhadap hamba-Nya yang ikhlas.
Ikhlas adalah ruh dalam setiap amal.
Tanpa ruh, amal hanyalah tubuh yang mati.
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian."
(HR. Muslim)
Apa pun profesi kita—security, cleaning service, dokter, guru, dosen, perawat, bidan, apoteker, atau abdi negara—yang membedakan nilai kita bukanlah pangkat, melainkan niat dan keikhlasan.
Ikhlas bukan berarti tidak boleh lelah.
Ikhlas berarti tetap melangkah walau tak dipuji, tetap memberi walau tak terlihat, tetap setia walau tak dihargai.
Dan ketahuilah…
"Barang siapa mengerjakan amal dengan ikhlas karena Allah, maka Allah akan menjadikan setiap lelahnya sebagai pahala, setiap diamnya sebagai dzikir, dan setiap kerjanya sebagai ladang kebaikan yang terus tumbuh hingga akhirat."
Mari kita luruskan niat.
Setiap pagi sebelum melangkah bekerja, bisikkan dalam hati:
"Ya Allah, aku bekerja karena-Mu. Jika hari ini aku tak dikenal manusia, tak apa… asalkan Engkau mencatatku sebagai hamba-Mu yang ikhlas yang Engkau cintai."