BABY BLUES

  • 08:40 WITA
  • Admin_FKIK
  • Artikel

BABY BLUES

Oleh: Dr. dr. Dewi Setiawati, Sp.OG, M.Kes

Dokter Kandungan dan Dosen FKIK UIN Alauddin Makassar


Pagi itu, mentari belum tinggi saat tetangga mendengar tangisan histeris dari rumah kecil di ujung gang. Seorang ibu muda ditemukan duduk memeluk bayinya yang sudah membiru. Ia tak berhenti menangis. 

Tapi sepertinya  bukan tangisan kehilangan… itu tangisan bingung, ketakutan, kehancuran; karena ia sendiri yang mengakhiri hidup darah dagingnya.


Cerita ini bukan satu-satunya. Ada ribuan kisah serupa yang tak masuk berita. Terjadi dalam senyap. Dalam kamar-kamar yang hanya didengar tembok dan langit-langit.

Bukan karena tak punya cinta, tapi karena ia kehilangan dirinya sendiri.

******


Sebut saja namanya Sari. Usianya baru 19 tahun saat melahirkan anak pertamanya. Di depan orang, ia terlihat bahagia. Tapi setiap malam, saat rumah mulai sepi, ada yang lain dalam dirinya. Ia menangis tanpa tahu sebab, merasa cemas bila bayinya menangis, merasa bersalah jika tak bisa menyusui, dan merasa seperti ibu yang gagal.


Suaminya bingung. “Ah, mungkin cuma kecapekan,” katanya. Ibunya bilang, “Itu biasa, namanya juga baru jadi ibu.”


Namun tak ada yang benar-benar tahu: badai sedang berkecamuk dalam diri Sari.

*****


Kondisi ini disebut baby blues.  Dialami oleh 50–85% ibu baru, biasanya dalam dua minggu pertama setelah melahirkan. Gejalanya sering disangka “normal”:  mudah menangis, cemas berlebihan, marah tanpa alasan, sulit tidur dan hilang nafsu makan, serta merasa tidak pantas menjadi ibu.


Hormon estrogen dan progesteron yang anjlok hingga 90% dalam 72 jam pasca melahirkan memainkan peran besar. Tubuh dan jiwa ibu seperti kehilangan penyangga. Tidur yang tak pernah cukup, tangis bayi yang tiada henti, tekanan untuk menyusui… semua berkumpul jadi satu.


Sekitar 10–20% ibu mengalami depresi setelah melahirkan. Dalam kasus yang sangat jarang tapi mematikan, psikosis postpartum bisa terjadi pada 1–2 dari 1.000 ibu.


Sebuah studi dari British Journal of Psychiatry mencatat di Indonesia 15,8% ibu mengalami depresi postpartum

Yang lebih memprihatinkan, 68% ibu dengan depresi postpartum tidak pernah mendapat bantuan profesional.


Kenapa Ini Terjadi?

Sebuah analisis terhadap 291 studi di berbagai negara mengungkapkan faktor-faktor risikonya:

Biologis: Riwayat depresi sebelumnya, Komplikasi kehamilan dan persalinan, dan gangguan tiroid


Psikososial:

Minimnya dukungan pasangan

Kekerasan rumah tangga

Isolasi sosial

Tekanan ekonomi


Budaya:

Tuntutan menjadi ibu sempurna

Stigma terhadap gangguan jiwa

Kurangnya edukasi kesehatan mental

*****


Dalam banyak kasus, iman menjadi jangkar terakhir. Penelitian dari Journal of Religion and Health (2023) menunjukkan, praktik spiritual mengurangi risiko depresi postpartum hingga 40%.


Dalam Islam, zikir, doa, dan shalat adalah bentuk terapi yang menyambung jiwa dengan Yang Maha Mendengar.

Studi FKUI bahkan menunjukkan, ibu yang rutin beribadah memiliki kadar kortisol (hormon stres) yang lebih rendah, dan kadar serotonin (hormon bahagia) yang lebih tinggi.


Di Malaysia, integrasi konseling islami dan pengobatan medis berhasil membantu hingga 85% kasus depresi postpartum ringan hingga sedang.


So, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pihak keluarga, para tenaga kesehatan, dan masyarakat memiliki peran penting.

Keluarga:

Siapkan dukungan sejak masa kehamilan

Kenali gejala baby blues dan depresi

Berikan waktu istirahat untuk ibu

Hindari menghakimi. Peluklah. Dengarkan.


Bagi Tenaga Kesehatan:

Lakukan skrining mental secara rutin

Bangun komunikasi yang penuh empati

Buat sistem rujukan yang ramah ibu

Libatkan keluarga dalam edukasi


Bagi Masyarakat:

Hentikan stigma terhadap ibu yang sedang berjuang

Dukung program kesehatan jiwa ibu dan anak

Ciptakan lingkungan yang peduli dan suportif

Libatkan tokoh agama dalam edukasi publik


******


Tidak ada ibu yang ingin menyakiti anaknya. Jika itu terjadi, maka bukan hanya ibunya yang gagal… tapi kita semua yang lalai.

Data menunjukkan, 80% kasus bisa dicegah jika kita peka terhadap tanda awal dan segera bertindak.

Jangan anggap remeh air mata seorang ibu.

Bisa jadi itu adalah tangis terakhir sebelum segalanya terlambat.


Biarlah tulisan ini menjadi pengingat:

Di balik senyum seorang ibu, bisa saja tersembunyi luka yang sedang minta ditemani.

Wahai para ayah, hadirlah dalam kehidupan istri Anda, sebagai ayah dan suami yang utuh....